Analisis Hukum

Makalah Iptek: Analisis Hukum -

Pernikahan Aceng Dan Fani Oktora









ANALISIS HUKUM TERHADAP KASUS ACENG DENGAN FANI OKTORA
Pernikahan adalah sebuah pilihan untuk menyatukan dua individu dalam satu visi dan misi kehidupan, dalam kenyataannya penyatuan dua insan ini memang tidak mudah, karena visi dan misi masing-masing pribadi sudah tentu beda sehingga yang dibutuhkan adalah sinkronisasi diantara keduanya, kuncinya adalah kesabaran, keikhlasan dalam melakukan proses sinkronisasi tersebut.
Patut menjadi renungan mengapa sebuah pernikahan bisa bertahan lama sampai akhir hayat bahkan ada juga yang hanya berusia tidak sampai hitungan tahun, bulan atau minggu. Tentu semua terjadi karena ada faktor penyebabnya, bisa saja karena proses menuju sinkronisasi tersebut ternyata tidak sesuai dengan harapan, apalagi kalau masing-masing individu, sebelumnya tidak ada sikap saling terbuka, benarkah kita mencintainya dengan tulus, siapkah kita menerima kelebihan dan kekurangan dari masing-masing individu. Kasus seperti ini biasanya terjadi pada pasangan yang belum lama berkomunikasi tetapi sudah ingin segera menikah atau dipaksakan menikah.
Kasus yang menarik perhatian ialah Aceng Fikri, yang saat ini menjabat sebagai Bupati Garut. Bupati yang berusia 40 tahun itu menikahi seorang gadis berusia 18 tahun pada 14 Juli 2012. Yang menjadi titik permasalahn ialah bahwa Aceng menikahi Fani secara sirri dan menceraikannya dalam waktu 4 hari.
Banyak alasan mengapa Aceng mau menikahi Fani, begitu juga banyak alasan mengapa seorang Fani yang terpaut usia sangat jauh mau menikah dengan Bupati Aceng. Jodoh memang tidak ada yang bisa menebak begitu juga halnya dengan perceraian. Usia pertemuan mereka sangat singkat hampir sama dengan usia pernikahan mereka yang juga teramat singkat. Jadi wajar saja kalau proses untuk menuju sinkronisasi menjadi terhambat atau boleh dikatakan gagal sama sekali, yang lebih menyakitkan justru terjadi ketika proses perceraian tersebut hanya dilakukan lewat SMS saja. Aceng langsung menjatuhkan talak, pada hari keempat pernikahannya dengan alasan Fani sudah tidak perawan lagi.
Oleh karena itu, kasus yang menimpa Aceng dapat di soroti dalam perspektif UU no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, UU no. 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Daerah yang mengatur Hak dan Kewajiabn dari pada Kepala Daerah. Secara tidak langsung Aceng telah meremehkan dan mengesampingkan adanya Peraturan atau Undang-Undang tentang Perkawinan. Padahal Undang-Undang tersebut berlaku bagi semua warga Negara yang menganut agama Islam.
 Didalam kasus Aceng ini mengandung empat bentuk pelanggaran hukum, diantara:
1.   Dari sisi Pencataan Perkawinan atau Tata Cara Pelaksaan Perkawinan
Suatu bentuk perkawinan yang telah menjadi model masa kini yang timbul dan berkembang diam-diam pada sebagian masyarakat islam di Indonesia yakni nikah dibawah tangan, dimana mereka berusaha menghindari diri dari sistem dan cara pengaturan pelaksanaan perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974, yang terlalu birokratis dan berbelit-belit serta lama pengurusannya. Untuk itu mereka menempuh cara tersendiri yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Dalam ilmu hukum cara seperti itu dikenal dengan istilah “penyelundupan hukum”, yaitu suatu cara menghindari diri dari persyaratan hukum yang ditentukan oleh undang-undang dan peraturan yang berlaku dengan tujuan perbuatan bersangkutan dapat menghindarkan suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki atau untuk mewujudkan suatu akibat hukum yang dikehendaki.
Demikian juga kasus yang dilakukan Aceng ia melakukan pelanggaran hukum, bahwa ia menikahi Fani secara diam-diam alias “sirri” sehingga pernikahannyapun tidak diakui oleh Negara dan tidak dilindungi oleh hukum yang berlaku di Negara Indonesia ini. Karena memang pelaksaan pernikahannya tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
Dalam suatu pernikahan hendaknya dicatatkan supaya antar keduanya sama-sama mendapat pengakuan dan perlindungan hukum. Didalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1 dan 2) telah dijelaskan mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan,  ialah: 1). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaannya itu. 2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengenai tata cara Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan, diatur lebih lanjut dala PP RI No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 2 mengatakan, 1). Pencatatan perkawna dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. 2). Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan yang mengenai percatatan perkawinan. 3). Dengan tidak mengurangi keentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 dalam Peraturan Pemerintah ini.

2.   Dari Sisi Perceraian atau Thalak yang tidak Dilakukan (SMS)
Pernikahan merupakan perintah ajaran Islam. Tujuan pernikahan adalah untuk selamanya. Lebih lanjut dikatakan didalam UU Perkawinan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan pernikahan sering dijumpai problem yang bisa jadi membuat kehidupan rumah tangga dalam suatu pernikahan menjadi tidak harmonis lagi. Dalam kondisi ketidak harmonisan ini diperlukan pranata sosial yang mampu menyelesaikan perselisihan, persengketaan dan bentuk pertentangan lainnya.
Sejarah Islam mencatat tiga cara mengakhiri ketidakharmonisan dalam rumah tangga tersebut. Cara pertama dilakukan melalui rekonsiliasi antara suami istri dengan kehendak dari orang yang berselisih, yaitu secara sukarela datang dari suami istri yang berselisih itu sendiri. Cara kedua dilakukan melalui mediasi pihak ketiga, misalnya keluarga masing-masing mengutus seseorang sebagai juru damai atas perselisihan dan persengketaan. Tugas pihak ketiga ini bisanya mencari titik temu dari konflik yang dialami suami istri keluarga masing-masing. Dan cara ketiga dilakukan secara paksa kepada kedua belah pihak yang berkonflik oleh negara yang dalam hal ini melalui pengadilan. Cara ketiga ini biasanya ditempuh jika cara melalui inisiatif sendiri secara sukarela dan mediasi pihak ketiga menemui jalan buntu, maka langkah terakhir adalah melalui pengadilan, yang kalau di Indonesia, bagi orang Muslim adalah di pengadilan Agama.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang Peradilan Agama Nomor 3 Tahun 2006 dan Kompilasi Hukum Islam dengan jelas menyatakan bahwa perceraian antara orang Islam harus diucapkan di depan sidang pengadilan agama. Perceraian dapat diajukan oleh pihak istri atau suami. Jika istri yang mengajukan cerai maka disebut dengan cerai gugat, sebaliknya, perceraian yang diajukan oleh suami, maka disebut dengan cerai talak.
Konsep perceraian dalam tata perundang-undangan di Indonesia memberikan posisi yang seimbang antara suami dan istri dalam mengajukan permohonan atau gugatan perceraian. Untuk dapat dikabulkan permohonan cerai talak atau cerai gugatnya, harus didasarkan pada alasan yang jelas. Di dalam peraturan ini sudah diberikan alasan-alasan yang bisa dijadikan dasar untuk mengajukan cerai, baik itu dilakukan oleh suami maupun istri.
Sahnya perceraian yang harus di depan sidang pengadilan agama di atas dimaksudkan sebagai upaya menghindari keputusan sepihak dari salah satu pihak, baik suami atau istri yang bermaksud bercerai. Di samping itu, konsep perceraian di Indonesia agaknya diusahakan untuk dihindari. Hal ini dapat dilihat dari setiap persidangan di pengadilan agama, pada saat hakim memulai setiap sidangnya untuk kasus perceraian selalu menawarkan perdamaian. Karena itu, tugas utama hakim pengadilan agama di Indonesia adalah melaksanakan perlindungan ini sehingga ikrar talak tidak dijatuhkan kapan dan di mana saja suami menjatuhkannya.
Penetapan sahnya perceraian yang berbeda dengan fikih klasik ini tidak menyalahi penetapan hukum Islam, sebab dalam kaidah fikih disebutkan bahwa hukum dapat berubah sesuai dengan adanya perubahan waktu.
Secara jelas, tata cara perceraian diatur dalam UU perkawina pada Pasal 39, yang berbunyi: 1). Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan bersaha dan tidak behasil mendamaikan kedua belah pihak. 2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. 3). Tata cara perceraiaan di depan Sidang Pengadilan diatur dalam perundang-undangan tersendri.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat di dibuat kesimpulan bahwa pertama, perceraian harus dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan, baik cerai talak maupun cerai gugat untuk menemukan keseimbangan meskipun ikrar talak tetap dilakukan oleh suami di depan sidang pengadilan, dan bila suami tidak mengucapkan ikrar talak disebabkan cerai gugat, maka ikrar talak dibacakan oleh hakim. Kedua, perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan dinyatakan tidak sah. Oleh karena itu, meskipun suami telah mengucapkan atau menjatuhkan talak kepada istrinya di luar sidang pengadilan, suami istri masih terikat dalam pernikahan termasuk hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Alasan penulis yang tidak mensahkan perceraian yang tidak diikrarkan di depan sidang pengadilan agama di atas dengan jelas didasarkan kepada konsep maṣlaḥah, yaitu menghindari mafsadah sekaligus memberikan perlindungan kepada para pihak, khususnya seseorang dari ketidakadilan oleh salah satu pihak dalam suatu perceraian yang diinisiasi oleh suami. Ketidakadilan ini terjadi disebabkan ikrar talak merupakan kewenangan suami. Dengan kewenangan ini, maka suami bila hendak menceraikan istrinya dapat melakukan kapan saja bila ia menghendaki. Dengan keadaan seperti ini, seorang istri tidak memiliki daya sama sekali untuk melakukan penolakan atas inisiasi suami yang mentalaknya.
Sebab, mensahkan ikrar talak di luar sidang pengadilan cenderung menimbulkan kemudaratan, khususnya kepada istri dan hanya memberikan tekanan manfaat pada seorang suami. Dengan kata lain, kemudaratan kepada pihak lain dan keuntungan bagi kalangan tertentu harus dihindari dalam hukum Islam, khususnya dalam persoalan perceraian.
Problem-problem tersebut bila tidak diantisipasi tentu akan mengganggu eksistensi dalam kehidupan seseorang yang telah melakukan pernikahan. Oleh karena itu, peraturan dibuat untuk dimaksudkan memberikan perlindungan dalam rangka untuk menemukan kemaslahatan bagi kehidupan pernikahan, khususnya istri dan anak keturunannya dalam menjalani kehidupan di Indonesia. Perlindungan seperti ini sudah masuk kategori kebutuhan utama sebab bila tidak demikian akan menimbulkan ketidaktertiban suatu kehidupan pernikahannya.
Kalau kita kaitkan dengan kasus bupati garut yang menceraikan Fani Oktora melalui SMS sudah barang tentu tidaklah sah. karena dilakukan di luar pengadilan. Perecraian yang diajukan oleh suami maupun istri menjadi suatu kewajiban harus dihadapan pengadilan yang berwenang.

3.   Dari Sisi Poligami
Poligami adalah sutu sistem perkawinan dari macam-macam perkawinan  yang dikenal manusia, seperti monogami, poliandri, poligini. Poligami berasal dari kata bahasa Yunani  dari kata “Poly”  atau”polus”, yang berartii banyak dan “gamein” atau  gamos” yang berarti kawin atau perkawinan. Bila pengertian ini digabung  maka akan diperolen  pengertian yang berarti poligami  ialah suatu perkawinan  yang lebih dari satu orang.
Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami,  akan tetapi asas monogami dalam UU Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami.
Oleh karenanya, hukum poligami boleh akan tetapi harus di sertai dengan syarat-syarat tertentu agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari yang merugikan pihak wanita, adapun syarat-sayaratnya ialah:
a.    Suami mampu berlaku adil di antara  se sama isteri. Adil yang dimaksudkan ialah mampu memberikan nafkah lahir dan batin sesama istri.
b.    Poligami dilakukan harus dengan disertai  izin isteri dan permohonan izin ke pengadilan.
Keharusan mendapatkan izin dari isteri maupun izin dari dari pengadilan, didasarkan atas peraturan pemerintah, yaitu UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Adapun prosedur poligami yang di atur oleh UU No. 1 Tahun 1974 ialah ercantum dalam Pasal 4 dan 5.
Pasal 4
1.      Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimama tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
2.      Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.    Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b.    Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidk dapat disembuhkan
c.    Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Pasal 5
1.    Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.    Adanya persetuuan dari istri / istri-istri
b.    Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka
c.    Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka
2.    Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri /iatri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
Berkaitan poligami yang dilakukan Aceng adalah tidak sesuai dengan prosedur di atas, walaupun secara jelas istri pertama aceng menurutkan bahwa tidak keberatan jika aceng menikah lagi. Ini tidak bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan karena tidak mendapatkan kekuatan atas putusan Pengadilan.

4.   Dari Sisi Pelanggaran Terhadap Kode Etik dan Aturan
Kalau kita telaah lebih lanjut, Bupati Garut itu menyalahi aturan, sebab kita tahu bahwa bupati Aceng selalu bilang di media bahwa dia  mendapatkan izin lisan dari istrinya untuk menikahi Fani, akan tetapi seharusnya dia menggunakan izin tertulis bukan lisan, lalu izin tertulis itu di bawa ke pengadilan untuk mendapatkan izin poligami, bukan hanya sekedar izin lisan saja, ini tidak bersesuaian dengan peraturan yang ada.
Bupati Garut Aceng juga melanggar Undang-undang No 23 tahun 2002 Pasal 82 tentang Perlindungan Anak. Ancaman dari UU tersebut adalah ancaman paling lama 15 tahun penjara.
Mengapa dapat dikatakan Bupati Garut melanggar UU No 23 tahun 2002 Pasal 82, karena jelas saat dinikahi 14 Juli 2012 oleh Aceng, Fani masih berusia di bawah 18 tahun. Pelanggaran yang dilakukan Aceng karena dirinya melakukan hubungan seksual dengan anak di bawah 18 tahun.
Terkait dengan pelanggaran kode etik dan moral, Aceng sebagai pejabat publik harus mempunyai moral dan keteladanan. Sebab, selaku pemimpin, apa yang diperbuat oleh Aceng sangat tidak layak untuk dijadikan teladan dari urusan moral, baik dari segi bernegara atau berkeluarga. Juga, selaku pejabat negara, Aceng menciderai UU perkawinan tahun 1974, di mana seseorang yang hendak melakukan poligami diharuskan mendapat persetujuan tertulis dari pihak isteri pertama, yang dipertimbangkan oleh pengadilan agama untuk mendapat legalitas perkawinan dari sisi bernegara.
Sedangkan, selaku pejabat negara yang notabene seorang PNS, Aceng juga harus mendapat persetujuan dari atasan jika ingin berpoligami. Hal ini sesuai dengan PP nomor 10/1983 yang diubah dengan PP Nomor 45/1990. Dalam hal ini, Aceng harus mendapatkan persetujuan dari Gubernur Jawa Barat, selaku atasannya.

KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan , sebagai berikut:
1.    Aceng Fikri dinyatakan terbukti melanggar UU No. 1 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok Perkawinan, pasal 2 ayat (2) yang berbunyi; “ Setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
2.    Aceng Fikri juga dinyakan melanggar pasal 39 UU Perkawinan tersebut karena tidak mendaftarkan perceraiannya dengan Fani Oktora ke Pengadilan Agama. Tatapi hanya melalui SMS.
3.    Aceng Fikri juga dinyatakan melanggar UU No. 32 Tentang Pemerintah Daerah karena “ KAWIN KILAT”.
4.    Aceng Fikri dinyatakan juga Melanggar Pasal 27 huru b yang berbunyi; “ Bahwa setiap Kepala Daerah harus manaati perundang-undangan yang berlaku”.
5.    Aceng Fikri juga dinyatakan malanggar Pasal 27 huruf f yang berbunyi: “ Bahwa Kepala Daerah wajib menjunjung tinggi etika dan norma “.